|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 23 November 2017

Selamat Ibu Mertua, Anda Menang, Anda Berhasil Menghancurkan Rumah Tangga Kami dengan Alasan Rumah!

 


KEBAJIKAN (De 德) -  Rumah itu bukan keluarga, tapi dengan adanya rumah baru ada yang namanya keluarga.

Cerita ini diadopsi berdasarkan sebuah kisah nyata, kisah real estat orang pertama.

Saya Benny, usia 31 tahun dan telah menikah tiga tahun. Saya berasal dari desa, setelah lulus delapan tahun lalu, saya ke sebuah kota kecil.

Namun, di kota kecil ini sama sekali tidak dapat menemukan pekerjaan yang layak.

Saya menyewa rumah tinggal, bekerja tidak tetap, dan sepenuhnya mengikuti tes penempatan kerja di institusi pemerintah.

Tahun ketiga akhirnya diterima di Departemen Jamsostek daerah setempat.

Di bawah perkenalan rekan sekantor, saya berkenalan dengan Ratna, dia adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit.

Dia cantik, keluarganya juga lumayan baik secara ekonomi, kedua orang tua Ratna adalah pegawai negeri.

Setelah tahu dengan kondisi keluargaku, Ratna tidak serta memandang rendah padaku, kami merasa cocok, tak lama kemudian kami pun menjalin hubungan serius.

Namun, ibunya Ratna menentang hubungan kami, tidak hanya sekali menemuiku, menyuruh saya untuk tidak berkhayal.

Tapi isteriku tidak peduli, ia bersikeras tetap bersamaku. Saya sendiri terus terang tidak punya rumah, juga tidak punya uang, tapi isteri saya juga tidak peduli.

Namun, terhalang oleh pagar ibu mertua yang menuntutku harus membeli rumah milik sendiri secara tunai !

Orang tua saya adalah petani, semua tabungan yang ada juga tidak lebih dari 200 juta rupiah, sementara harga rumah di kota kabupaten 6 juta per meter persegi, belum termasuk dekorasi dan furniture.

Saya berusaha mencari pinjaman dimana-mana, tapi hanya berhasil mendapatkan pinjaman 60 juta.

Isteri saya sendiri punya simpanan sekitar 40 juta dari hasil kerjanya selama beberapa tahun, kalau dikalkulasi juga ada sekitar 300 juta!

Tapi ini adalah hal yang tidak mungkin. Uang segitu masih jauh dari cukup, belum lagi biaya pengeluaran lainnya.

Ratna berusaha membicarakan hal itu dengan ibunya, tapi ia juga hanya bisa menggerutu dan menangis, hingga akhirnya ibu mertua bersedia kompromi, beli secara angsur, tapi rumah itu harus atas nama Ratna isteriku!

Saya tidak punya pendapat, tapi orang tua saya tidak setuju. Mereka merasa besannya sengaja mempersulit.

Mereka juga bilang pernikahan ini seharusnya tidak terjadi, hari-harimu selanjutnya nanti akan menderita.

Tapi sikap saya sangat tegas, apalagi isteri saya sendiri yang juga mengeluarkan uang untuk biaya dekorasi dan perabotan, akhirnya orang tua saya setuju.

Setelah berselisih pendapat mengenai hal itu, aku dan Ratna akhirnya menikah.

Satu tahun setelah menikah, kami dikaruniai seorang anak. Ibu mertua kemudian tinggal bersama kami, merawat isteriku.

Entah mengapa segala apa pun yang saya lakukan selalu tidak bisa memuaskan ibu mertua, hanya bisa pasrah dan bersabar.

Bayi kami sekarang berusia 2 tahun, ingin sekali saya meminta tolong ibuku untuk menjaga cucunya, sebagai nenek, ia tidak pernah sekali pun nginap barang satu malam di rumahku selama dua tahun ini. 

Begitu ibuku datang menjenguk cucunya, ibu mertuaku langsung memandangnya dengan sinis, dan ibuku sadar dengan posisiku, dia tidak ingin menimbulkan masalah buat saya, akhirnya ia hanya meletakkan barang bawaannya lalu pulang.

Beberapa waktu lalu, saat makan malam, saya memberanikan diri berkata pada ibu mertua.

“Ibu, sejak Andika lahir sampai sekarang, selalu diurus sama ibu, kupikir ibu pasti capek, gimana kalau aku minta ibu kesini ikut bantu merawat Andika selama beberapa hari, dan ibu bisa istirahat dulu.”

Mendengar perkataanku, ibu mertua hanya diam dan berkata, “Tidak usah, meski capek juga biar Andika aku yang urus, pendidikan harus dimulai sejak kecil, jangan sampai menerima pendidikan yang gagal, nanti kalau sudah besar seperti … ”

Isteriku mencoba menarik ibunya, mencegahnya berkata lebih lanjut, dan ibu mertuaku pun diam tidak mengatakan apa-apa lagi.

Aku pun emosi mendengar sindirannya, jelas-jelas ibu mertua juga sekaligus menyindir ibuku!
Aku pun meninggikan suara dan berkata, “Saya memang tidak berguna, tapi itu bukan kesalahan ibuku. Anda makilah saya tak perlu bicara yang tidak-tidak tentang ibuku!”

Ibu mertua langsung menyahutku dengan suara lantang, “Kenapa memangnya?
Mendidik anak yang tidak berguna saja banyak alasan! Bukankah maksudmu memang menginginkan saya pergi, agar orangtuamu bisa berkuasa disini!”

Dengar baik-baik ya, jangan harap! Ini rumah milik kami! Anak Anda seharusnya ikut nama marga kami!

Istriku Ratna berusaha menarik ibunya, tapi ibu mertuaku tidak peduli, terus saja ngomong.

Istri saya bagaimana cara menariknya, dia mengabaikan apapun terus berlanjut, “Anda adalah menantu yang tinggal di rumah mertua ! Apa kamu tidak menyadarinya ”

Mendengar perkataan ibu mertua yang semakin keterlaluan, emosiku pun memuncak!

Aku berdiri dan berteriak, “Selama ini saya selalu mengalah! Sejak awal anda sudah menghina keluarga kami, saya tahu! Rumah itu atas nama Ratna, tapi kami yang membayar 230 juta rupiah untuk uang mukanya! Begitu juga angsuran, kami yang menyicilnya selama ini, Kenapa anda bilang saya tinggal di rumah mertua! Anda yang meminta angsuran rumah itu atas nama Ratna anakmu, dan kami sudah mengalah! Tapi tak disangka anda semakin tak tahu diri! Tidak menganggapku sama sekali! Dan menyepelehkan orangtuaku! Aku sudah muak dengan sikapmu!”

Kemudian tanpa peduli dengan bujukan Ratna, isteriku, aku pun dengan tegas meninggalkan tempat yang dinamakan “Keluarga” ini. Salam kebajikan (Sumber)

Tidak ada komentar:
Write komentar